Cinta Ibu untuk Orang Kecil
§Penyakit terburuk saat ini adalah situasi hidup yang tidak dikehendaki, ditinggalkan dan dilupakan. Momok yang paling besar ialah begitu tergila-gila dengan harta, hampir tidak mempunyai waktu dan melupakan orang-orang di sekitar yang membutuhkan kita.¡¨
Itulah sebuah cita rasa yang diungkapkan Ibu Teresa dalam hidupnya yang begitu akrab dengan kekurangan dan penderitaan manusia. Hal ini membuatnya memiliki sebuah pandangan yang khas terhadap ¡§orang-orang kecil¡¨. Bagi Ibu Teresa, orang-orang kecil adalah mereka yang disingkirkan, ditinggalkan dan dibuang oleh orang lain bahkan oleh orang-orang yang dicintainya. Ia melihat bahwa kebutuhan dasar manusia adalah cinta. Ketika cinta sudah menjadi sesuatu yang sangat langka dan sulit untuk ditemukan, maka di situlah penderitaan dirasakan.
Persoalan kehidupan manusia yang semakin kompleks membuat tak sedikit orang kehilangan orientasi dalam hidupnya, karena tenggelam dalam glamornya dunia. Orang menjadi tidak peduli dengan sesamanya, sehingga tak dapat dipungkiri orang merasakan hidupnya kesepian, tak bermakna, hampa, tak dicintai dan merasa tak berarti lagi. Bagi Ibu Teresa, mereka-lah yang disebut miskin dan terbuang.
Penderitaan mereka yang miskin dan terbuang bukan hanya karena penyakit yang dideritanya, melainkan juga karena sikap masyarakat atau orang-orang yang dulu pernah dikenal, dicintai dan mencintainya; kini mengasingkan, menyingkirkan. Itulah sebuah penolakan yang mengukir ¡§luka batin¡¨ sangat dalam bagi mereka yang menderita, disingkirkan dan diasingkan dari hidupnya. Mereka harus berjuang dengan berbagai cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Secara hakiki mereka tidak ingin diasingkan dan disingkirkan dari kehidupan masyarakat. Mereka mempunyai hak untuk hidup bersama dan berjuang dalam kehidupan ini.
Kalkuta merupakan potret salah satu tempat terdapat banyak orang miskin. Bagi Ibu Teresa ada banyak ¡§Kalkuta lain¡¨ bila kita mau membuka mata terhadap orang-orang di sekitar kita. Mereka membutuhkan waktu dan keterbukaan hati untuk bisa menemukan kembali jati diri hidup mereka sebagai gambar dan citra Allah yang sangat berharga. Ibu Teresa mengajak setiap orang untuk peka terhadap mereka. Ia mengatakan bahwa kita harus mulai dari keluarga kita, kemudian tetangga dan orang-orang di sekitar kita.
Bila Cinta Itu Terlupakan
Ada sebuah nilai di balik ketidakberdayaan orang miskin dan terbuang, bahwa mereka selalu memiliki rasa solidaritas dan pelayanan yang tinggi terhadap sesamanya. Kesadaran akan yang lain sebagai bagian dari hidup mereka menjadi salah satu alasan yang mendorong mereka untuk berjuang bersama, berbagi dan membangun sebuah solidaritas yang sejati. Situasi ini membawa Ibu Teresa pada suatu ajakan :
¡§Jadikan hidupmu sebagai pernyataan kebaikan kasih Allah, melalui tatapan mata, air muka, keramahan dalam senyum, dan salam hangatmu. Dengan cara ini, kita dapat memancarkan kebaikan hati kita. Se-ulas senyuman sederhana merupakan kebaikan yang indah. Seseorang yang mencintai dengan tulus adalah orang yang paling berbahagia, sebab segala sesuatu tergantung dari bagaimana kita saling mencintai. Mencintai haruslah menjadi sesuatu yang wajar dan spontan, sebagaimana kita bernafas hari demi hari hingga kematian tiba.¡¨
Orang miskin dan terbuang justru dengan tangan terbuka menerima semua orang yang datang kepada mereka, mereka merasakan bahwa orang lain merupakan bagian dari hidup mereka sendiri. Mereka merindukan sebuah dunia yang dapat menjadi rumah mereka, sebagai ruang gerak yang memberikan kemerdekaan, keleluasaan dan rasa nyaman untuk hidup dan mengaktualkan diri mereka. Ruang gerak itulah yang menjadi kesempatan untuk mengalami dan merasakan hidup dari perjuangan mereka sendiri. Karena itu sebenarnya mereka menyingkapkan kehidupan yang menjadi dambaan universal semua manusia.
Dalam pelayanannya, Ibu Teresa menemukan kerinduan terdalam dalam hidup manusia. Tempat-tempat penampungan yang didirikannya membuat banyak orang menemukan kembali ¡§rumah mereka¡¨ yang selama ini dirindukan, sehingga mereka dapat merasa berharga, dicintai sebagai saudara. Di rumah itu lah mereka menemukan kembali persaudaraan dan dapat berbagi satu sama lain. Desmond, seorang relawan yang pernah tinggal dan berkunjung ke tempat penampungan para Suster Misionaris Cintakasih mengungkapkan :
¡§Saya pernah hadir ketika seorang tua meninggal di Nirmal Hriday, dia seorang Hindu. Saya melihat sendiri, seorang bruder membungkuk sambil merawatnya pada saat terakhir itu: membasahi bibir orang itu dengan air yang diambil dari sungai Gangga yang dipandang kudus. Pernah hal ini saya tanyakan kepada Ibu. Dan ia menjawab dengan sangat jelas. Bahwa setiap orang yang meninggal di sana, diberikan segala hiburan yang mereka minta, sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Orang-orang Islam dikuburkan menurut kebiasaan Islam, dan orang-orang Hindu diperabukan menurut peraturan-peraturan agamanya. Semua ini tentu saja tidak merupakan halangan bagi suster-suster yang baik hati itu untuk menambahkan bukti-bukti cinta dan pengabdiannya.¡¨
Dewasa ini, fenomena sebaliknya terjadi bahwa ada sekian banyak keluarga yang mengalami broken home, yang membuat anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian yang cukup. Demikian pun yang terjadi pada keluarga-keluarga di mana orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak mau meluangkan waktu bagi anak-anaknya. Kendati kebutuhan material anak tercukupi bahkan berlebih, namun harus diakui bahwa dalam situasi itu anak-anak justru tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup. Secara pribadi, anak-anak ingin mendengarkan cerita orang tuanya, ingin dihibur, dipuji dan ditegur akan apa yang mereka lakukan. Cepat atau lambat perasaan tidak diterima dan tidak dicintai akan menghancurkan hidup mereka.
Dalam keadaan hampa dan kesepian itulah anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang pemberontak. Mereka menjadi sinis terhadap keadaan karena mengalami kekecewaaan dan kegelisahan mendalam terhadap keluarga, masyarakat, norma-norma, tradisi dan aturan-aturan lainnya. Hidup bersama orang tua tidak menjamin bahwa ¡§mereka benar-benar memiliki orang tua.¡¨ Anak-anak lebih dekat dan berpegang pada kawan-kawan sebaya. Kerap kali anak justru memperlihatkan kepekaan yang besar terhadap apa yang dirasakan dan dipikiran teman-teman sebaya mengenai mereka. Disposisi batin semacam ini membuat anak-anak curiga dan tidak perduli dengan keadaan orang tua. Bagi mereka dikucilkan dan tidak memiliki teman sebaya lebih menyakitkan kendati mereka sering menjadi ¡§budak¡¨ dari teman-temannya.
Ibu Teresa juga menemukan banyak kenyataan keterasingan yang dialami oleh manusia. Keterasingan itu ternyata telah merambah dalam diri semua orang, sehingga manusia hidup dalam kubangan egoisme dan kepentingan diri dengan saling berebut dan menjatuhkan. Secara mendalam dalam refleksinya Ibu Teresa menegaskan bahwa adanya penindasan dan ketidakadilan terhadap mereka yang miskin dan tersingkir merupakan tanda bahwa manusia menolak kasih Allah. Realitas keberdosaaan inilah yang mendatangkan korban karena ada ketidakseimbangan dalam kehidupan, tatanan kasih runtuh, parsaudaraan hancur, dan sikap hormat akan Allah terusik.
Cinta Tumbuh dari Kekurangan
Dalam hidupnya Ibu Teresa selalu dekat dengan penderitaan manusia yang tersingkir dan terbuang. Ia merasakan pengalaman-pengalaman yang paling getir yang dirasakan dan dialami oleh mereka. Meski demikian, ia tetap percaya akan cinta Tuhan terhadap semua mahluk ciptaanNya. Ia tidak melihat semua penderitaan itu sebagai bentuk ketidakpedulian Tuhan terhadap ciptaanNya. Ia melihat penderitaan itu sebagai bagian dari drama abadi tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Penderitaan memberikan manusia kesempatan untuk secara kongkret dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan dan sesama. Orang yang menyatakan diri mencintai Tuhan juga harus mewujudkan cintanya itu pada sesama, dua hal ini tak bisa dipisahkan. Dalam perjumpaan dengan orang-orang miskin dan terbuang inilah manusia benar-benar dapat mencintai Tuhan dan sesama secara kongkret.
Ibu Teresa ingin datang dan menawarkan sebuah nilai dasar yang seharusnya diwujudkan oleh setiap orang, yaitu kasih. Bagi Ibu Teresa kasih merupakan sumber dan dasar segala sesuatu. Ibu Teresa mengajak semua orang memulai gerakan budaya kasih dari keluarganya masing-masing. Di mana satu sama lain saling berbagi, saling bercerita dan mendengarkan dan saling melayani dengan cinta. ¡§Kasih berawal dari senyum, kasih bermula dari rumah.¡¨ ungkap Ibu Teresa.
Ibu Teresa melihat dengan mendalam apa yang sebenarnya menjadi penyebab hancurnya dunia, yaitu bila manusia tidak lagi memiliki cinta. Bagi mereka yang termiskin dari yang miskin, yang sesungguhnya dibutuhkan adalah cinta, perhatian dan penghargaan. Ketika ia merawat dan melayani orang-orang miskin dan sekarat dengan penuh cinta kasih dan perhatian, muncullah sinar kebahagiaan dari wajah mereka. Ketika mereka dicintai dan dihargai sebagai layaknya manusia, di situlah mereka menemukan kembali kebahagiaan mereka yang dirampas oleh keterasingan hidup mereka.
Cinta inilah yang memampukan manusia untuk terus bertahan hidup menghadapi berbagai macam tantangan yang tidak mudah untuk diselesaikan dalam hidup ini. Kemampuan manusia untuk merasakan dicintai dan mencintai inilah yang membuatnya mampu untuk berjuang dan mempertahankan hidupnya. Dalam hubungan cinta inilah orang satu dengan yang lainnya saling membuka diri, saling menerima sebagai pribadi yang unik. Itulah uniknya cinta, biarpun mereka saling menyerahkan diri mereka tetap berdikari dengan kemerdekaannya yang penuh dan justru karena mereka saling menyatukan diri, mereka mampu mewujudkan diri masing-masing.
Cinta Ibu Teresa yang tulus kepada orang-orang yang termiskin dari yang miskin inilah yang mampu menyatukan hidup dan merasakan penderitaan yang dialami oleh mereka yang menderita. Karena cinta, maka meskipun mereka hidup tanpa jaminan dan hanya mengandalkan penyelengaraan Ilahi, namun mereka tetap merasakan kebahagiaan. Curahan cinta itulah yang mampu mengubah hidupnya secara total, sehingga kebahagiaan memancar dari wajah mereka. Anda juga pasti bisa.
Haryanto SCJ
Email: haryscj@gmail.com